René Descartes dan Epistemologi
Kalian pernah ga berpikir, bagaimana kita tahu
sesuatu itu benar? atau, kenapa ya kita percaya pada informasi yang kita
dengar atau baca? nah, inilah peran epistemologi dalam kehidupan
kita.
Epistemologi adalah ilmu yang
membahas tentang bagaimana kita tahu sesuatu itu benar.
Dalam filsafat, epistemologi sangat penting karena menjadi dasar bagi
semua pemikiran lainnya. Sebelum kita membahas tentang hakikat
keberadaan (ontologi) atau nilai dalam kehidupan (aksiologi), kita perlu memahami
bagaimana manusia dapat memperoleh dan memvalidasi pengetahuan. Tanpa epistemologi,
kita tidak bisa membedakan antara kebenaran dan sekadar opini.
Sepanjang sejarah filsafat, René Descartes dikenal sebagai pelopor rasionalisme atau sebuah pemikiran yang menekankan bahwa bahwa akal adalah sumber utama pengetahuan. Menurutnya, kita tidak bisa hanya mengandalkan pengalaman, tetapi harus menggunakan logika dan pemikiran kritis untuk memahami dunia.
Descartes terkenal dengan pendekatan keraguan
metodis (methodic doubt), yaitu meragukan segala sesuatu hingga
ditemukan kebenaran yang absolut dan tak terbantahkan. Ia menyadari
bahwa indera manusia sering kali menipu atau apa yang kita lihat,
dengar, atau rasakan bisa saja tidak mencerminkan realitas sebenarnya. Oleh
karena itu, ia memilih untuk meragukan semua pengetahuan yang ia miliki hingga
ia menemukan satu titik kepastian.
Dalam proses ini, Descartes sampai pada kesimpulan yang paling fundamental:
Pernyataan ini menandakan bahwa kesadaran berpikir
adalah satu-satunya hal yang tidak bisa diragukan. Bahkan jika seseorang
meragukan segala sesuatu, fakta bahwa ia mampu meragukan menunjukkan bahwa ia
berpikir, dan jika ia berpikir, maka ia pasti ada. Inilah titik awal bagi
epistemologi Descartes yaitu pengetahuan harus dimulai dari sesuatu yang benar-benar
pasti, yaitu keberadaan diri sebagai makhluk yang berpikir.
Berdasarkan prinsip Cogito, ergo sum, Descartes membangun epistemologi rasionalistik yang menyatakan bahwa pengetahuan sejati hanya bisa diperoleh melalui akal (rasio), bukan pengalaman indrawi semata. Baginya, pikiran manusia memiliki kemampuan bawaan untuk memahami kebenaran melalui proses logis dan deduktif.
Sebagai contoh, dalam matematika, kita bisa mengetahui bahwa 1 + 1 = 2 tanpa perlu mengandalkan pengalaman. Pengetahuan ini bisa dibuktikan secara logis melalui rasio. Dengan cara yang sama, Descartes percaya bahwa dunia dan keberadaan Tuhan juga dapat dipahami melalui akal murni.
Contoh lainnya gini, bayangin kamu lagi scroll di TikTok, lalu liat video yang bilang kalau minum kopi campur lemon itu bisa bikin kurus instan. Descartes akan bilang, “Jangan langsung percaya, guys. Coba dipikirin dulu, cari bukti yang valid, research lebih dalam. Jangan asal telan mentah-mentah kayak challenge viral.”
Pemikiran Descartes itu mirip kayak prinsip fact-checking zaman sekarang. Sebelum percaya sesuatu, kita harus nanya, “Ini tuh bener nggak sih? ada bukti ilmiahnya nggak?” Sama kayak pas kamu ngecek apakah berita atau tren itu valid atau cuma clickbait doang.
Pemikiran Descartes tentang rasionalisme dan metode
berpikir kritis ini masih sangat relevan di era modern. Dalam dunia teknologi,
kecerdasan buatan (AI) juga dikembangkan dengan cara meniru proses berpikir
logis manusia, sebagaimana yang ditekankan Descartes dalam epistemologi.
Selain itu, pendekatan skeptisnya juga mengajarkan
kita untuk tidak langsung menerima informasi tanpa berpikir kritis. Di
era digital yang penuh hoaks dan informasi palsu, sikap skeptis ala Descartes
menjadi senjata penting dalam memilah kebenaran.
Komentar
Posting Komentar